Tantangan Mahasiswa di Era Reformasi
Enam belas tahun yang lalu, mahasiswa dari Kampus Trisakti bergerak melakukan long march ke Gedung MPR/DPR. Mereka
menuntut Presiden Soeharto yang berkuasa saat itu mundur karena tak
kunjung menyelesaikan krisis ekonomi yang mendera Indonesia akibat
dampak dari krisis finansial Asia sejak awal 1997. Aksi damai berkembang
menjadi huru-hara karena aparat kepolisian menembakkan peluru dan gas
air mata untuk mencerai beraikan kerumunan mahasiswa.
Perjuangan
mahasiswa pada saat itu harus dibayar dengan tumpahan airmata, darah,
hingga pengorbanan nyawa agar Indonesia bisa keluar dari jerat otoriter
Soeharto. Negara ini pun akhirnya bisa menghirup kebebasannya dalam
berdemokrasi: berpendapat, berserikat, dan berkumpul. Mahasiswa telah
mampu mengukirkan sejarahnya di negeri ini sebagai tonggak pembentuk
reformasi.
Dengan
terbukanya keran demokrasi ditambah pesatnya perkembangan teknologi
yang mampu mendukung kebebasan berekspresi, seharusnya itu dapat
menjadi tools bagi mahasiswa untuk kembali menyambung estafet
pergerakan yang telah dimulai oleh senior-seniornya terdahulu. Jika kita
bandingkan kondisi pada masa dulu, aksi turun ke jalan menjadi
satu-satunya cara agar tuntutan mahasiswa didengar. Namun keadaan saat
ini, di mana internet tumbuh dengan pesat, aksi turun ke jalan tak lagi
satu-satunya cara untuk menggerakkan civil society movement.
Keadaan
lingkungan sosial, politik, dan ekonomi kini kian kompleks. Semakin
banyaknya persoalan hidup yang menghimpit masyarakat akibat tekanan
ekonomi, sehingga aksi turun ke jalan justru semakin mengesalkan banyak
orang (mereka terlambat datang ke kantor, akibatnya tunjangan harus
dipotong). Padahal ketika dulu mahasiswa turun ke jalan, semua elemen
masyarakat saling mendukung karena cara itu dianggap mampu menyuarakan
perubahan. Namun saat ini telah terjadi pergeseran sosial. Hal itulah
yang harus disadari oleh mahasiswa saat ini dalam menentukan arah dan
cara gerakannya.
Banyak
cara yang dapat ditempuh mahasiswa di Era Reformasi ini, karena sistem
demokrasi dapat mengakomodasi semua bentuk transparansi dan keterbukaan
informasi terhadap publik. Mahasiswa dapat melakukan audiensi dengan
pemerintah dengan cara duduk semeja membahas kebijakan-kebijakan
pro-rakyat, sekaligus mengawasi implementasi kebijakan tersebut lewat monitoring media.
Selain itu, teknologi pun mampu menggerakkan gerakan masyarakat sipil.
Mahasiswa dapat merancang petisi online dan menyebarkan ke semua
masyarakat. Gerakan mahasiswa tak hanya eksklusif terbatas pada kalangan
mahasiswa, tapi juga turut melibatkan partisipasi publik.
Bukan
berarti aksi turun ke jalan harus ditiadakan. Bagaimana pun juga,
gerakan turun ke jalan adalah medio yang penting untuk menarik perhatian
pemerintah agar tuntutan mahasiswa didengar. Namun sebagai kaum
intelektual saat ini, proses diskusi hendaknya lebih dikedepankan.
Diplomasi memiliki kelebihan. Ketika mahasiswa dan pemerintah duduk
bersama membahas sebuah kebijakan, mahasiswa mampu mempersuasi
pemerintah agar dapat mengakomodasi kepentingan masyarakat. Cara
diplomasi bisa jauh lebih efektif dalam menyampaikan aspirasi masyarakat
yang dibawa oleh mahasiswa. Dengan berbicara langsung kepada sang
pembuat kebijakan, semakin kecil distorsi dan misunderstanding dari pesan yang ingin disampaikan mahasiswa.
HIDUP MAHASISWA!!!
Tidak ada komentar: